Gara-Gara Jempol
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq untuk dimenangkan di atas semua agama. Segala puji bagi Allah yang Maha Mengetahui isi hati hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekian lama tidak menulis note (dalam arti menulis sendiri, atau mungkin lebih tepat menulis dengan menukil penjelasan ulama dari berbagai sumber), hari ini -dengan ijin Allah- menyempatkan diri untuk menulis catatan yang sangat bersahaja ini. Semoga bisa bermanfaat dan menjadi nasehat, khususnya bagi saya pribadi.
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.’” (Muttafaq Alaih) [1]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang seharusnya menanamkan niat dalam hatinya semata-mata karena Allah, dalam setiap ucapan, amal perbuatan, dan kondisinya.” [2]
Niat yang benar adalah satu dari dua syarat diterimanya amalan seorang hamba. Niat ini erat kaitannya dengan tiga amalan hati, yaitu ikhlas, riyaa’, dan ujub. Amalan pertama (ikhlas) adalah manifestasi dari kemurnian tauhid seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Sedangkan dua amalan terakhir, riyaa’ dan ujub, adalah lawan dan perusak dari sebuah ke-ikhlasan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahaya riyaa’ dan menyebutnya sebagai syirik yang samar, begitu pula dengan sifat ujub yang beliau kabarkan dalam sebuah hadits sebagai satu di antara sifat yang dapat membinasakan manusia.
Riyaa’ dan ujub adalah dua penyakit yang berangkat dari sifat dasar manusia yang ingin dipuji. Gara-gara jempol (baca: pujian), riak-riak riyaa’ dan ujub itu bisa menjadi gelombang besar yang menghempaskan semua amalan, menyeretnya jauh ke tengah lautan dan kemudian tenggelam tak berbekas, tanpa menyisakan sedikit pun untuk memberatkan timbangan di Hari Akhir kelak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan.” (QS Al-Baqarah [2]: 264)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu hujan yang deras tersebut menjadikan batu yang licin tersebut bersih, yaitu tanpa tersisa sedikitpun tanah sama sekali, bahkan seluruh tanah telah sirna. Maka demikianlah amalan-amalannya orang-orang yang riyaa' akan hancur dan sirna di sisi Allah, meskipun yang nampak pada orang-orang, mereka memiliki amal sebagaimana tanah (yang nampak di atas batu licin tadi -pen). Oleh karenanya Allah berfirman ((mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan))” [3]
Bisa jadi kita -saya dan Anda- sangat berhati-hati dari syirik akbar, namun sering lalai mengoreksi diri agar tidak terjatuh dalam salah satu sebab ‘pemusnah amal’, dalam bentuk ingin dipuji manusia ketika beramal dan merasa bangga dengan amalan-amalan kita.
Semoga Allah menjaga amalan kita dari sifat riyaa’ dan ujub. Semoga Allah menjadikan tulisan ini ikhlas mengharapkan keridhaan-Nya dan menjadikannya sebagai amalan kebaikan di Hari Akhir kelak, hari yang tiada beguna lagi hubungan kekerabatan kecuali amalan kebaikan manusia.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, sahabatnya, dan umatnya yang mengikutinya dengan baik hingga Hari Berbangkit. Wallahu ‘alam bish shawab.
Rabu, 25 Rabi’ul Akhir 1432 H / 30 Maret 2011
Ba’da Ashar, Kota Tua di selatan Bandung
~wawan~
Footnote:
[1] Syarah Hadits Arba’in (Terj. Hal. 9). Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Pustaka Ibnu Katsir. Cet. Ke-1.
[2] Syarah Riyadhus Shalihin (Terj. Jil. 1. Hal-31). Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Darus Sunnah Press. Cet. Ke-3.
[3] Apakah Anda Terjangkiti Penyakit Riyaa’? (Segera Deteksi Diri Anda Sendiri!!!). Ustadz Firanda Andirja. www.firanda.com
Sekian lama tidak menulis note (dalam arti menulis sendiri, atau mungkin lebih tepat menulis dengan menukil penjelasan ulama dari berbagai sumber), hari ini -dengan ijin Allah- menyempatkan diri untuk menulis catatan yang sangat bersahaja ini. Semoga bisa bermanfaat dan menjadi nasehat, khususnya bagi saya pribadi.
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.’” (Muttafaq Alaih) [1]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang seharusnya menanamkan niat dalam hatinya semata-mata karena Allah, dalam setiap ucapan, amal perbuatan, dan kondisinya.” [2]
Niat yang benar adalah satu dari dua syarat diterimanya amalan seorang hamba. Niat ini erat kaitannya dengan tiga amalan hati, yaitu ikhlas, riyaa’, dan ujub. Amalan pertama (ikhlas) adalah manifestasi dari kemurnian tauhid seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Sedangkan dua amalan terakhir, riyaa’ dan ujub, adalah lawan dan perusak dari sebuah ke-ikhlasan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahaya riyaa’ dan menyebutnya sebagai syirik yang samar, begitu pula dengan sifat ujub yang beliau kabarkan dalam sebuah hadits sebagai satu di antara sifat yang dapat membinasakan manusia.
Riyaa’ dan ujub adalah dua penyakit yang berangkat dari sifat dasar manusia yang ingin dipuji. Gara-gara jempol (baca: pujian), riak-riak riyaa’ dan ujub itu bisa menjadi gelombang besar yang menghempaskan semua amalan, menyeretnya jauh ke tengah lautan dan kemudian tenggelam tak berbekas, tanpa menyisakan sedikit pun untuk memberatkan timbangan di Hari Akhir kelak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan.” (QS Al-Baqarah [2]: 264)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu hujan yang deras tersebut menjadikan batu yang licin tersebut bersih, yaitu tanpa tersisa sedikitpun tanah sama sekali, bahkan seluruh tanah telah sirna. Maka demikianlah amalan-amalannya orang-orang yang riyaa' akan hancur dan sirna di sisi Allah, meskipun yang nampak pada orang-orang, mereka memiliki amal sebagaimana tanah (yang nampak di atas batu licin tadi -pen). Oleh karenanya Allah berfirman ((mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan))” [3]
Bisa jadi kita -saya dan Anda- sangat berhati-hati dari syirik akbar, namun sering lalai mengoreksi diri agar tidak terjatuh dalam salah satu sebab ‘pemusnah amal’, dalam bentuk ingin dipuji manusia ketika beramal dan merasa bangga dengan amalan-amalan kita.
Semoga Allah menjaga amalan kita dari sifat riyaa’ dan ujub. Semoga Allah menjadikan tulisan ini ikhlas mengharapkan keridhaan-Nya dan menjadikannya sebagai amalan kebaikan di Hari Akhir kelak, hari yang tiada beguna lagi hubungan kekerabatan kecuali amalan kebaikan manusia.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, sahabatnya, dan umatnya yang mengikutinya dengan baik hingga Hari Berbangkit. Wallahu ‘alam bish shawab.
Rabu, 25 Rabi’ul Akhir 1432 H / 30 Maret 2011
Ba’da Ashar, Kota Tua di selatan Bandung
~wawan~
Footnote:
[1] Syarah Hadits Arba’in (Terj. Hal. 9). Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Pustaka Ibnu Katsir. Cet. Ke-1.
[2] Syarah Riyadhus Shalihin (Terj. Jil. 1. Hal-31). Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Darus Sunnah Press. Cet. Ke-3.
[3] Apakah Anda Terjangkiti Penyakit Riyaa’? (Segera Deteksi Diri Anda Sendiri!!!). Ustadz Firanda Andirja. www.firanda.com
Comments
Post a Comment