Hipotesis
A. Pengertian Hipotesis
Margono (2004: 80) menyatakan bahwa hipotesis berasal dari perkataan hipo (hypo) dantesis (thesis). Hipo berarti kurang dari, sedang tesis berarti pendapat. Jadi hipotesis adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara, belum benar-benar berstatus sebagai suatu tesis. Hipotesis memang baru merupakan suatu kemungkinan jawaban dari masalah yang diajukan. Ia mungkin timbul sebagai dugaan yangbijaksana dari si peneliti atau diturunkan (deduced) dari teori yang telah ada.
Pada bagian lain, Margono (2004: 67) pun mengungkapkan pengertian lainnya tentang hipotesis. Ia menyatakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoretis dianggap paling mungkin atau paling tinggi tingkat kebenarannya. Secara teknik, hipotesis adalah pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya melalui data yang diperoleh dari sampel penelitian. Secara statistik, hipotesis merupakan pernyataan keadaan parameter yang akan diuji melalui statistik sampel. Di dalam hipotesis itu terkandung suatu ramalan. Ketepatan ramalan itu tentu tergantung pada penguasaan peneliti itu atas ketepatan landasan teoritis dan generalisasi yang telah dibacakan pada sumber-sumber acuan ketika melakukan telaah pustaka.
Mengenai pengertian hipotesis ini, Nazir (2005: 151) menyatakan bahwa hipotesis tidak lain dari jawaban sementara terhadap permasalahn
penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Menurutnya,
hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau yang ingin kita pelajari. Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks.
Trelease (Nazir, 2005: 151) memberikan definisi hipotesis sebagai “suatu keterangan sementara sebagai suatu fakta yang dapat diamati”. Sedangkan Good dan Scates (Nazir, 2005: 151) menyatakan bahwa hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah penelitian selanjutnya. Kerlinger (Nazir, 2005: 151) menyatakan bahwa hipotesis adalah pernyataan yang bersifat terkaan dari hubungan antara dua atau lebih variabel.
B. Ciri-Ciri Hipotesis
Setelah hipotesis dirumuskan, maka sebelum pengujian yang sebenarnya dilakukan, hipotesis harus dinilai terlebih dahulu. Untuk menilai kelaikan hipotesis, ada beberapa kriteria atau ciri hipotesis yang baik yang dapat dijadikan acuan penilaian. Kriteria atau ciri hipotesis yang baik menurut Furchan (2004: 121-129) yaitu: (1) hipotesis harus mempunyai daya penjelas; (2)hipotesis harus menyatakan hubungan yang diharapkan ada di antara variabel-variabel; (3) hipotesis harus dapat diuji; (4) hipotesis hendaknya konsisten dengan pengetahuan yang sudah ada; dan (5) hipotesis hendaknya dinyatakan sederhana dan seringkas mungkin. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Nazir. Menurut Nazir (2005: 152) hipotesis yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hipotesis harus menyatakan hubungan.
Hipotesis harus merupakan pernyataan terkaan tentang hubungan- hubungan antarvariabel. Ini berarti bahwa hipotesis mengandung dua atau lebih variabel-variabel yang dapat diukur ataupun secara potensial dapat diukur. Hipotesis menspesifikasikan bagaimana variabel-variabel tersebut berhubungan. Hipotesis yang tidak mempunyai ciri di atas, sama sekali bukan hipotesis dalam pengertian metode ilmiah.
2. Hipotesis harus sesuai dengan fakta.
Hiptesis harus cocok dengan fakta. Artinya, hipotesis harus terang. Kandungan konsep dan variabel harus jelas. Hipotesis harus dapat
dimengerti, dan tidak mengandung hal-hal yang metafisik. Sesuai dengan
fakta, bukan berarti hipotesis baru diterima jika hubungan yang dinyatakan harus cocok dengan fakta.
3. Hipotesis harus berhubungan dengan ilmu, serta sesuai dengan tumbuhnya ilmu pengetahuan.
Hipotesis juga harus tumbuh dari dan ada hubunganya dengan ilmu
pengetahuan dan berada dalam bidang penelitian yang sedang dilakukan. Jika tidak, maka hipotesis bukan lagi terkaan, tetapi merupakan suatu pertanyaan yang tidak berfungsi sama sekali.
4. Hipotesis harus dapat diuji.
Hipotesis harus dapat diuji, baik dengan nalar dan kekuatan memberi alasan ataupun dengan menggunakan alat-alat statistika. Alasan yang diberikan biasanya bersifat deduktif. Sehubungan dengan ini, maka supaya dapat diuji, hipotesis harus spesifik. Pernyataan hubungan antar variabel yang terlalu umum biasanya akan memperoleh banyak kesulitan dalam pengujian kelak.
5. Hipotesis harus sederhana.
Hipotesis harus dinyatakan dalam bentuk yang sederhana dan terbatas untuk mengurangi timbulnya kesalahpahaman pengertian. Semakin spesifik atau khas sebuah hipotesis dirumuskan, semakin kecil pula kemungkinan terdapat salah pengertian dan semakin kecil pula kemungkinan memasukkan hal-hal yang tidak relevan ke dalam hipotesis.
6. Hipotesis harus bisa menerangkanfakta.
Hipotesis juga harus dinyatakan daam bentuk yang dapat menerangkan hubungan fakta-fakta yang ada dan dapat dikaitkan dengan
teknik pengujian yang dapat dikuasai. Hipotesis harus dirumuskan sesuai
dengan kemampuan teknologi serta keterampilan menguji dari si peneliti. Secara umum, menurut Nazir (2005: 153) hipotesis yang baik harus
mempertimbangkan semua fakta-fakta yang relevan, harus masuk akal dan
tidak bertentangan dengan hukum alam yang telah diciptakan Tuhan. Hipotesis harus dapat diuji dengan aplikasi deduktif atau induktif untuk verifikasi. Hipotesis harus sederhana.
C. Kegunaan Hipotesis
Dalam kegiatan penelitian, hipotesis merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Pentingya hipotesis dinyatakan oleh Furchan (2004: 115) yang mengungkapkan setidaknya ada dua alasan yang mengharuskan penyusunan hipotesis. Kedua alasan tersebut ialah:
1. Hipotesis yang mempunyai dasar kuat menunjukkan bahwa peneliti telah mempunyai cukup pengetahuan untuk melakukan peneliatian di bidang
itu.
2. Hipotesis memberikan arah pada pengumpulan dan penafsiran data; hipotesis dapat menunjukkan kepada peneliti prosedurapa yang harus diikuti dan jenis data apa yang harus dikumpulkan. Dengan demikian dapatdicegah terbuang sia-sianya waktu dan jerih payah peneliti. Perlu ditekankan bahwa hal ini berlaku bagi semua jenis studi penelitian, tidak hanya yang bersifat eksperimen saja.
Dalam penelitian, hipotesis merupakan hal yang sangat berguna. Terkait dengan hal itu, Furchan (2004: 115) mengungkapkan kegunaan hipotesis penelitian, yaitu:
1. Hipotesis memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasanpengetahuan dalam suatu bidang
Untuk dapat sampai pada pengetahuan yang dapat dipercaya mengenai masalah pendidikan, orang harus melangkah lebih jauh daripada sekedar mengumpulkan fakta-fakta yang berserakan, untuk
mencari generalisasi dan antar hubungan yang ada di antara fakta-fakta itu. Antar-hubungan dan generalisasi ini akan memberikan gambaran
pola, yang penting bagi pemahaman persoalan. Pola semacam itu tidak mungkin menjadi jelas selama pengumpulan data dilakukan tanpa arah.
Hipotesis yang telah terencanadengan baik akan memberikan arah dan mengemukakan penjelasan-penjelasan. Karena hipotesis itu dapat diuji dan divalidasi (diuji keshahihannya) melalui penyelidikan ilmiah, maka hipotesis dapat membantu kita memperluas pengetahuan.
2. Hipotesis memberikan suatu pernyataan hubungan yang berlangsung dapat diuji dalam penelitian.
Pertanyaan tidak dapat diuji secara langsung. Penelitian memang
dimulai dengan suatu pertanyaan, tatapi hanya hubungan antara variabel- variabel sajalah yang dapat diuji. Misalnya, orang tidak akan menguji pertanyaan “Apakah komentar guru terhadap pekerjaan murid menyebabkan peningkatan hasil belajar secara nyata?” Akan tetapi orang dapat menguji hipotesis yang tersirat dalam pertanyaan tersebut: “Komentar guru terhadap hasil pekerjaan murid menyebabkan meningkatnya hasil belajar hasil belajar murid secara nyata”. Atau yang lebih spesifik lagi, “Skor hasil belajar siswa yang menerima komentar guru atas pekerjaan mereka sebelumnya akan lebih tinggi daripada skor siswa yangtidak menerima komentar guru atas pekerjaan mereka sebelumnya”. Selanjutnya orang dapat meneliti hubungan antara kedua variabel itu, yaitu komentar guru dan prestasi siswa.
3. Hipotesis memberikan arah kepada penelitian.
Hipotesis merupakan tujuan khusus. Dengan demikian hipotesis juga menentukan sifat-sifat data yang diperlukan guna menguji pernyataan
tersebut. Secara sangat sederhana, hipotesis menunjukkan kepada
peneliti apa yang harus dilakukan. Fakta-fakta yang harus dipilih dan diamati adalah fakta yang ada hubungannya dengan pertanyaan tertentu.
Hipotesislah yang menentukan relevansi fakta-fakta itu. Hipotesis dapat
memberikan dasar bagi pemilihan sampel serta prosedur penelitian yang harus dipakai. Hipotesis juga dapat menunjukkan analisis statistik yang diperlukan agar ruang lingkup studi tersebut tetap terbatas, dengan mencegahnya menjadi terlalu sarat.
Sebagai contoh, lihatlah kembali hipotesis tentang latihan prasekolah anak-anak kelas satu yang mengalami hambatan kultural. Hipotesis itu
menunjukkan metode penelitian yang diperlukan serta sampel yang harus
dipakai. Hipotesis itu pun bahkan menuntun peneliti kepada tes statistik yang mungkin diperlukan untuk menganalisis data. Dari pernyataan
hipotesis itu, jelas bahwa peneliti harus melakukan eksperimen yang
membandingkan hasil belajar di kelas satu dari sampel siswa yang mengalami hambatan kultural dan telah mengalami program prasekolah dengan sekelompok anak serupa yang tidak mengalami program prasekolah. Setiap perbedaan hasil belajar rata-rata kedua kelompok tersebut dapat dianalisis dengan tes atau teknik analisis variansi, agar dapat diketahui signifikansinya menurut statistik.
4. Hipotesis memberikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan penyelidikan
Hipotesis akan sangat memudahkan peneliti kalau ia mengambil
setiap hipotesis secara terpisah dan menyatakan kesimpulan yang relevan dengan hipotesis itu. Artinya, peneliti dapat menyusun bagian
laporan tertulis ini di seputar jawaban-jawaban terhadap hipotesis semula,
sehingga membuat penyajian itu lebih berarti dan mudah dibaca.
D. Jenis-Jenis Hipotesis
Untuk membedakan jenis-jenis hipotesis, penulis mengutip pendapat Nazir (2005: 153-154) yang menyatakan bahwa hipotesis dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, dan tergantung dari pendekatan dalam mebaginya. Menurut beliau, hipotesis dapat dibagi sebagai berikut:
1. Hipotesis Hubungandan Perbedaan
Hipotesis dapat kita bagi dengan melihat apakah pernyataan sementara yang diberikan adalah hubungan atau perbedaan.Hipotesis
tentang hubungan adalah pernyataan rekaan yang menyatakan tentang
saling berhubungan antara dua variabel atau lebih, yang mendasari teknik korelasi ataupun regresi. Sebaliknya, hipotesis yang menjelaskan perbedaan menyatakan adanya ketidaksamaan antarvariabel tertentu disebabkan oleh adanya pengaruh variabel-variabel yang berbeda-beda. Hipotesis ini mendasari teknik penelitian komparatif.
Hipotesis tentang hubungan dan perbedaan merupakan hipotesis hubungan analitis. Hipotesis ini, secara analitis menyatakan hubungan atau perbedaan satu sifat dengan sifat yang lain.
2. Hipotesis Kerja dan Hipotesis Nul
Dengan melihat cara pandang seorang peneliti menyusun pernyataan dalam hipotesisnya, hipotesis dapat dibedakan antara hipotesis kerja dan
nul. Hipotesis nul, yang mula-mula diperkenalkan oleh bapak statistikan
Fisher, diformulasikan untuk ditolak sesudah pengujian. Dalam hipotesis nul ini, selalu ada implikasi “tidak ada beda”. Perumusannya bisa dalam
bentuk:
“Tidak ada beda antara ….. dengan …..” Hipotesis nul dapat juga ditulis dalam bentuk: “….tidak mem….”
Hipotesis biasanya diuji dengan menggunakan statistika. Seperti telah dinyatakan di atas, hipotesis nul biasanya ditolak. Dengan menolak hipotesis nul, maka kita menerima hipotesis pasangan, yang disebut
hipotesis alternatif.
Hipotesis nul biasanya digunakan dalam penelitian eksperimental. Akhir-akhir ini hipotesis nul juga digunakan dalam penelitian sosial,
seperti penelitian di bidang sosiologi, pendidikan dan lain-lain.
Hipotesis kerja, di lain pihak, mempunyai rumusan dengan implikasi alternatif di dalamnya. Hipotesis kerja biasanya dirumuskan sebagai
berikut:
“Andaikata…… maka……”
Hipotesis kerja biasanya diuji untuk diterima dan dirumuskan oleh peneliti-peneliti ilmu sosial dalam disain yang noneksperimental. Dengan
adanya hipotesis kerja, si peneliti dapat bekerja lebih mudah dan terbimbing dalam memilih fenomena yang relevan dalam rangka
memecahkan masalah penelitiannya.
3. Hipotesis tentang ideal vs common sense
Hipotesis acapkali menyatakan terkaan tentang dalil dan pemikiran bersahaja dan common sense (akal sehat). Hipotesis ini biasanya menyatakan hubungan keseragaman kegiatan terapan. Contohnya, hipotesis sederhana tentang produksi dan status pemilikan tanah, hipotesis mengenai hubungan tenaga kerja dengan luas garapan, hubungan antara dosis pemupukan dengan daya tahan terhadap insekta, hubungan antara kegiatan-kegiatan dala industri, dan sebagainya.
Sebaliknya, hipotesis yang menyatakan hubungan yang kompleks dinamakan hipotesis jenis ideal. Hipotesis ini bertujuan untuk menguji adanya hubungan logis antara keseragaman-keseragaman pengalaman empiris. Hipotesis ideal adalah peningkatan dari hipotesis analitis. Misalnya, tentang hubungan jenis tanaman A dengan jenis tanah A dan jenis tanaman B dengan jenis tanah B. Jika kita perinci hubungan ideal di atas, misalnya mencari hubungan antara varietas-varietas tanaman A saja, maka kita memformulasikan hipotesis analitis.
E. Tiga Bentuk Rumusan Hipotesis
Pendapat lain mengenai pengklasifikasian atau jenis-jenis hipotesis diungkapkan oleh Sugiyono (2001: 83-86). Ia menyatakan bahwa menurut tingkat eksplanasi yang akan duji, maka rumusan hipotesis dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu hipotesis deskriptif (pada suatu sampel atau variabel mandiri/tidak dibandingkan dan dihubungkan), komparatif dan hubungan.
1. Hipotesis Deskriptif
Menurut Sugiyono (2001: 83) hipotesis deskriptif adalah dugaan tentang nilai suatu variabel mandiri, tidak membuat perbandingan atau
hubungan. Sebagai contoh, bila rumusan masalah penelitian sebagai
berikut ini, maka hipotesis (jawaban sementara) yang dirumuskan adalah hipotesis deskriptif.
a. Seberapa tinggi daya tahan lampu merk X?
b. Seberapa tinggi produktivitas padi di kabupaten Klaten?
c. Berapa lama daya tahanlampu merk A dan B?
d. Severapa baik gaya kepemimpinan di lembaga X?
Dari tiga pernyataan tersebut antara lain dapat dirumuskan hipotesis seperti berikut:
a. Daya tahan lampu merk X = 800 jam
b. Produktivitas padi di Kabupaten Klaten 8 ton/ha.
c. Daya tahan lampu merk A=450 jam danmerk B=600 jam.
d. Gaya kepemimpinan di lembaga X telah mencapai 70% dari yang diharapkan.
Dalam perumusan hipotesis statistik, antara hipotesis nol dengan hipotesis alternatif selalu berpasangan, bila salah satu ditolak, maka yang
lain pasti diterima sehingga dapat dibuat keputusan yang tegas, yaitu kalau Ho ditolak pasti alternatifnya diterima. Hipotesis statistik dinyatakan melalui simbol-simbol.
Hipotesis statistik dirumuskan dengan simbol-simbol statistik, dan antara hipotesis nol (Ho) dan alternatif selalu dipasangkan. Dengan
dipasankan itumaka dapat dibuat keputusan yang tegas, mana yang diterima dan mana yang ditolak.
Berikut ini diberikan contoh berbagai pernyataan yang dapat dirumuskan hipotesis deskriptif statistiknya:
a. Suatu perusahaanminuman harus mengikuti ketentuan, bahwa salah
satu unsur kimia hanya boleh dicampurkan paling banyak 1%. (paling banyak berarti lebih kecil atau sama dengan: ). Dengan demikian rumusan hipotesisnya adalah:
Ho = 0,01 (lebih kecil atausama dengan)
Ha = > 0,01 (lebih besar)
Dapat dibaca: hipotesis nol untuk parameter populasi berbentuk proporrsi (1% : proporsi) lebih kecil atau sama dengan 1%, dan
hipotesis alternatifnya, untuk populasi yang berbentuk proporsi lebih
besar dari 1%.
b. Suatu bimbingan tes menyatakan bahwa murid yang dibimbing di lembaga itu, paling sedikit 90% dapat diterima di perguruan tinggi
negeri. Rumusan hipotesis statistik adalah:
Ho : 0,90
Ha : 0,90
c. Seorang peneliti menyatakan bahwa daya tahan lampu merk A = 450 jam dan B = 600 jam. Hipotesis statistiknya adalah:
Lampu A: Lampu B:
Ho : | = 450 jam | Ho : | = 600 jam |
Ha : | 450 jam | Ha : | 600 jam |
Harga dapat diganti dengan nilai rata-rata sampel, simpangan baku danvarians. Hipotesis pertama dan kedua diuji dengan uji satu satu pihak (one tail) dan ketiga dengan dua pihak (two tail).
2. Hipotesis Komparatif
Menurut Sugiyono (2001: 85) hipotesis komparatif adalah pernyataan yang menunjukkan dugaan nilai dalam satu variabel atau lebih pada
sampel yang berbeda. Contoh rumusan masalah komparatif dan
hipotesisnya:
a. Adakah perbedaandaya tahan lampu merk A dan B?
b. Adakah perbedaan produktivitas kerja antara pegawai golongan I, II
danIII?
Adapunrumusan hipotesis adalah:
a. – Tidak terdapat perbedaan daya tahan lampu antara lampu merk A
dan B
- Daya tahan lampu merk B paling kecil sanadengan lampu merk A
|



b. Tidak terdapat perbedaan (persamaan) produktivitas kerja antara golongan I, II, III.
- Ho : 1 = 2 = 3
Ha : 1 2 = 3 (salah satu berbeda sudah merupakan Ha)
Dalam hal ini harga (mu) dapat merupakan rata-rata sampel, simpangan baku, varians dan proporsi.
3. Hipotesis Hubungan (Asosiatif)
Sugiyono (2001: 86) menyatakan bahwa hipotesis asosiatif adalah suatu pernyataan yang menunjukkan dugaan tentang hubungan antara
dua variabel atau lebih. Contoh rumusan masalahnya adalah “Adakah
hubungan antara gaya kepemimpinan dengan efektivitas kerja?”. Rumus dan hipotesis nolnya adalah: Tidak ada hubungan antara gaya kepemimpinan dengan efktivitas kerja.
Hipotesis statistiknya adalah:

Ha : 0
= simbol yangmenunjukkan kuatnya hubungan.
Dapat dibaca: hipotesis nol, yang menunjukkan tidak adanya hubungan (nol = tidak ada hubungan) antara gaya kepempinan dengan efektivitas kerja dalam populasi. Hipotesis alternatifnya menunjukkan ada hubungan (tidak sama dengan nol, mungkin lebih besar dari nol atau lebih kecil dari nol).
F. Menggali dan Merumuskan Hipotesis
Nazir (2005: 154) menyatakan bahwa menemukan suatu hipotesis merupakan kemampuan si peneliti dalam mengaitkan masalah-masalah dengan variabel-variabel yang dapat diukur dengan menggunakan suatu kerangka analisis yang dibentuknya. Menggali dan merumuskan hipotesis mempunyai seni tersendiri. Si peneliti harus sanggup memfokuskan permasalahan sehingga hubungan-hubungan yang terjadi dapat diterka. Menurut Nazir (2005: 154) dalam menggali hipotesis, si peneliti harus:
1. Mempunyai banyak informasi tentang masalah yang ingin dipecahkan dengan jalan banyak membaca literatur-literatur yang ada hubungannya
dengan penelitian yang sedang dilaksanakan;
2. Mempunyai kemampuan untuk memeriksa keterangan tentang tempat- tempat, objek-objek serta hal-hal yang berhubungan satu sama lain dalam fenomena yang sedang diselidiki;
3. Mempunyai kemampuan untuk menghubungkan suatu keadaan dengan keadaan lainnya yang sesuaidengan kerangka teori ilmu dan bidang
yang bersangkutan.
Dalam penelitian ilmu-ilmu sosial yang telah cukup berkembang seperti ilmu ekonomi misalnya, perumusan hipotesis dimulai dengan pembentukan
kerangka analisis. Kerangka analisis ini biasanya dinyatakan dalam model matematika. Hipotesis- hipotesis dikaitkan dengan model matematika
tersebut, yangkemudian diuji dengan menggunakan data empiris.
Goode dan Hatt (Nazir, 2005: 155) memberikan empat buah sumber untuk menggali hipotesis, yaitu:
1. Kebudayaan di manailmu tersebut dibentuk.
2. Ilmu itu sendiri yang menghasilkan teori, dan teori memberikan arah kepada penelitian.
3. Analogi juga merupakan hipotesis. Pengamatan terhadap jagad raya
yang serupa atau pengamatan yang serupa pada ilmu lain merupakan sumber hipotesis yang baik. Mengamati respons berat hewan terhadap makanan, memberikan analog tentang adanya respons tanaman
terhadap zat hara. Darinya dapat dirumuskan hubungan antara tumbuhan dengan zat hara dalam tanah.
4. Reaksi individu dan pengalaman. Reaksi individu terhadap sesuatu, ataupun pengalaman-pengalaman sebagai suatu konsekuensi dari suatu
fenomena dapat merupakan sumber hipotesis. Reaksi tanaman terhadap pestisida, reaksi ayam terhadap suntikan suatu obat dapat merupakan sumber hipotesis.
Pendapat lainnya mengenai sumber hipotesis diungkapkan oleh Good dan Scates (Nazir, 2005: 155). Ia memberikan beberapa sumber yang dapat
digunakan untuk menggali hipotesis, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang ilmu.
2. Wawasan serta pengertian yang mendalam tentang suatu wawasan.
3. Imajinasi atau angan-angan.
4. Materi bacaandan literatur.
5. Pengetahuan tentang kebiasaan atau kegiatan dalam daerah yang sedangdiselidiki.
6. Data yang tersedia.
7. Analogi atau kesamaan.
Nazir (2005: 156) menyatakan bahwa merumuskan hipotesis bukanlah hal yang mudah. Seperti telah disinggung, sekurang-kurangnya ada tiga penyebab kesukaran dalam memforumlasikan hipotesis, yaitu:
1. Tidak adanya kerangka teori atau pengetahuan tentang kerangka teori yang terang.
2. Kurangnya kemampuan untuk menggunakan kerangka teori yang sudah ada, dan
3. Gagal berkenalan dengan teknik-teknik penelitian yang ada untuk dapat merangkaikan kata-kata dalam membuat hipotesis secara benar.
Hipotesis dibentuk dengan suatu pernyataan tentang frekuensi kejadian
atau hubungan antarvariabel. Dapat dinyatakan bahwa sesuatu terjadi dalam suatu bagian dari seluruh waktu, atau suatu gejala diikuti oleh gejala lain, atau sesuatu lebih besar atau lebih kecil dari yang lain. Bisa juga dinyatakan tentang korelasi satu dengan yang lain.
Hipotesis dapat juga menegaskan rekaan bahwa suatu ciri atau keadaan adalah satu faktor yang menentukan ciri lain atau keadaan lain. Hipotesis
yang begini rupa dinamankan juga hipotesis sebag akibat atau hipotesis
kausal. Misalnya suatu hipotesis yang menyatakan bahwa pengalaman waktu balita merupakan determinan personalitas waktu biasa.
Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang penting kedudukannya dalam penelitian. Oleh karena itulah maka peneliti dituntut kemampuannya untuk dapat merumuskan hipotesis ini dengan jelas. Borg dan Gall (Arikunto,
2002: 66) mengajukan adanya persyaratan untuk hipotesis, yaitu:
1. Hipotesis harus dirumuskan denga singkat tetapi jelas.
2. Hipotesis harus dengan nyata menunjukkan adanya hubungan antara dua atau dua lebih variabel.
3. Hipotesis harus didukung oleh teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli atauhasil penelitian yang relevan.
Margono (2004: 68) memberikan pedoman yangdapat digunakan untuk merumuskan hipotesis. Pedoman tersebut yaitu:
1. Hipotesis dinyatakan sebagai hubungan antara ubahan-ubahan.
2. Hipotesis dinyatakan dalam kalimat pernyataan.
3. Hipotesis dapat diuji kebenarannya, atau peneliti dapat mengumpulkan datauntuk menguji kebenarannya.
4. Hipotesis dirumuskan dengan jelas.
G. Cara Menguji Hipotesis
Setelah hipotesis dirumuskan dan dievaluasi menurut kriteria di atas, hipotesis tersebut kemudian diuji secara empiris. Hipotesis tersebut harus lulus dari tes empiris dan tes logika. Gagasan terbaik, pendapat para ahli, dan deduksi pun kadang-kadang bisa menyesatkan. Pada akhirnya, semuanya itu harus diuji melalui pengumpulan data yang teliti.
Menurut Furchan (2004: 130-131), untuk menguji hipotesis peneliti harus:
1. Menarik kesimpulan tentang konsekuensi-konsekuensi yang akan dapat diamati apabila hipotesis tersebut benar.
2. Memilih metode-metode penelitian yang akan memungkinkan
pengamatan, eksperimentasi, atau prosedur lain yang diperlukan untuk menunjukkan apakah akibat-akibat tersebut terjadi atau tidak, dan
3. Menerapkan metode ini serta mengumpulkan data yang dapat dianalisis
untuk menunjukkan apakah hipotesis tersebut didukung oleh data atau tidak.
Seperti telah diketahui bersama bahwa fungsi hipotesis adalah untuk memberikan suatu pernyataan terkaan tentang hubungan tentatif antara fenomena-fenomena dalam penelitian. Kemudian hubungan-hubungan ini
akan diuji validitasnya menurut teknik-teknik yang sesuai untuk keperluan pengujian. Bagi seorang peneliti, hipotesis bukan bukan merupakan suatu
hal yang menjadi vested interest, dalam artian bahwa hipotesis harus selalu diterima kebenarannya. Jika hipotesis ditolak karena tidak sesuai dengan data, misalnya, keadaan ini tidak berarti si peneliti akan kehilangan muka.
Bahkan harga diri peneliti akan naik jika si peneliti dapat menerangkan mengapa hipotesisnya tidak valid. Penolakan hipotesis dapat merupakan
penemuan yang positif, karena telah memecahkan ketidaktahuan (ignorance) universal dan memberi jalan kepada hipotesis yang lebih baik. Akan tetapi, seorang ilmuwan tidak dapat mengetahui bukti positif atau negatif kecuali
ilmuwan tersebut mempunyai hipotesis dan dia telah menguji hipotesis tersebut.
Hipotesis tidak pernah dibuktikan kebenarannya, tetapi diuji validitasnya. Kecocokan hipotesis dengan fakta bukanlah membuktikan hipotesis, karena bukti tersebut memberikan alasan kepada kita untuk menerima hipotesis, dan
hipotesis adalah konsekuensi logis dari bukti yangdiperoleh.
Untuk menguji hipotesis diperlukan data atau fakta-fakta. Kerangka pengujian harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum si peneliti
mengumpulkan data. Pengujian hipotesis memerlukan pengetahuan yang
luas mengenai teori, kerangka teori, penguasaan penggunaan teori secara logis, statistik, dan teknik-teknik pengujian. Cara pengujian hipotesis bergantung dari metode dan disain penelitian yang digunakan. Yang penting disadari adalah hipotesis harus diuji dan dievaluasikan. Apakah hipotesis tersebut cocok dengan fakta atau dengan logika? Ilmuwan tidak akan mengakui validitas ilmu pengetahuan jika validitas tidak diuji secara menyeluruh. Satu kesalahan besar telah dilakukan jika dipikirkan bahwa
hipotesis adalah fakta, walau bagaimanapun baiknya kita memformulasikan hipotesis tersebut.
Secara umum hipotesis dapat diuji denga dua cara, yaitu mencocokkan dengan fakta, atau dengan mempelajari konsistensi logis. Dalam menguji
hipotesis dengan mencocokkan fakta, maka diperlukan percobaan-percobaan untuk memperoleh data. Data tersebut kemudian kita nilai untuk mengetahui apakah hipotesis tersebut cocok dengan fakta tersebut atau tidak. Cara ini
biasa dikerjakan dengan menggunakan disain percobaan.
Jika hipotesis diuji dengan konsistensi logis, maka si peneliti memilih suatu desain di mana logika dapat digunakan, untuk menerima atau menolak
hipotesis. Cara ini sering digunakan dalam menguji hipotesis pada penelitian
yang menggunakan metode noneksperimental seperti metode deskriptif, metode sejarah, dan sebagainya.
H. KekeliruanDalam Pengujian Hipotesis
Pada dasarnya menguji hipotesis adalah menaksir parameter populasi berdasarkan data sampel. Menurut Sugiyono (2001: 86) menyatakan bahwa terdapat dua cara menaksir, yaitu: a point estimate dan interval estimate atau sering disebutconvidence interval. A point estimate (titik taksiran) adalah suatu taksiran parameter populasi berdasarkan satu nilai data sampel. Sedangkan interval estimate (taksiran interval) adalah sutau taksiran parameter populasi berdasarkan nilai interval data sampel.
Sebagai contoh, saya berhipotesis (menaksir) bahwa daya tahan kerja orang Indonesia itu 10 jam/hari. Hipotesis ini disebut point estimate, karena dayatahan kerja orang Indonesia ditaksir melalui satu nilai yaitu 10 jam/hari. Bila hipotesisnya berbunyi daya tahan tenaga kerja orang Indonesia antara 8 sampai dengan 12 jam/hari, maka hal ini disebut interval estimate. Nilai intervalnya adalah 8 sampai dengan 12 jam.
Menaksir parameter populasi yang menggunakan nilai tunggal (point estimate) akan mempunyai resiko kesalahan yang lebih tinggi di banding
denga yang menggunakan interval estimate. Menaksir daya tahan kerja orang Indonesia 10 jam/hari akan mempunyai kesalahan yang lebih besar
bila dibandingkan dengan nilai taksiran antara 8 sampai dengan 12 jam. Makin besar interval taksirannya maka akan semakin kecil kesalahannya. Menaksir daya tahan kerja orang Indonesia 6 sampai 14 jam/hari akan
mempunyai kesalahan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan interval taksiran 8 sampai 12 jam. Untuk selanjutnya kesalahan taksiran ini
dinyatakan dalam peluang yang berbentuk prosentase. Menaksir daya tahan kerja orang Indonesia dengan interval antara 6 sampai dengan 14 jam/hari
akan mempunyai prosentase kesalahan yang lebih kecil bila digunakan interval taksiran 8 sampai dengan 12 jam/hari. Biasanya dalam penelitian kesalahan taksiran ditetapkan terlebih dahulu, yang digunakan adalah 5%
dan 1 %. Semakin kecil taraf kesalahan yang ditetapkan, maka interval estimate-nya semakin besar, sehingga tingkat ketelitian taksiran semakin
rendah.
Sugiyono (2001: 88) menyatakan bahwa dalam menaksir populasi berdasarkan data sampel kemungkinan akan terdapat dua kesalahan, yaitu:
1. Kesalahan Tipe I adalah suatu kesalahan bila menolak hipotesis nol (Ho)
yang benar (seharusnya diterima). Dalam hal ini tingkat kesalahan
dinyatakan dengan (baca alfa).
2. Kesalahan tipe II, adalah kesalahan bila menerima hipotesis yang salah
(seharusnya ditolak). Tingkat kesalahan untuk ini dinyatakan dengan
(baca betha).
Berdasarkan hal tersebut, maka hubungan antara keputusan menolak atau menerima hipotesis dapat digambarkan sebagai berikut:
Keputusan | Keadaan Sebenarnya | |
Hipotesis Benar | Hipotesis Salah | |
Terima hipotesis | Tidak membuat kesalahan | Kesalahan Tipe II |
Menolak hipotesis | Kesalahan Tipe I | Tidak membuat kesalahan |
Dari tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Keputusan menerima hipotesis nol yang benar, berarti tidak membuat kesalahan.
2. Keputusan menerima hipotesis nol yang salah, berarti terjadi kesalahan
tipe II.
3. Membuat keputusan menolak hipotesis nol yang benar, berarti terjadi kesalahan tipe I.
4. Keputusan menolak hipotesis nol yang salah, berarti tidak membuat kesalahan.
Bila nilai statistik (data sampel) yang diperoleh dari hasil pengumpulan data sama dengan nilai parameter populasi atau masih berada pada nilai interval parameter populasi, maka hipotesis yang dirumuskan 100% diterima. Jadi tidak terdapat kesalahan.Tapi bila nilai statistik di luar nilai parameter populasi akan terdapat kesalahan. Kesalahan ini semakin besar bila nilai statistik jauh dari nilai parameter populasi.
Tingkat kesalahan ini kemudian di sebut level of signican atau tingkat signifikansi. Dalam prakteknya tingkat signifikansi telah ditetapkan oleh
peneliti terlebih dahulu sebelum hipotesis diuji. Biasanya tingkat signifikansi
(tingkat kesalahan) yang diambil adalah 1% dan 5%. Suatu hipotesis terbukti dengan mempunyai kesalahan 1% berarti bila penelitian dilakukan pada 100 sampel yang diambil dari populasi yang sama, maka akan terdapat satu kesimpulan salah yang dilakukan untuk populasi.
I. Penelitian Tanpa Hipotesis
Mungkin kita bertanya, apakah semua penelitian harus berhipotesis? Terkait dengan pertanyaan tersebut, untuk memberikan jawabannya, Arikunto (2002: 71) menjelaskan ada dua alternatif jawaban.
Pendapat pertama menyatakan, semua penelitian pasti berhipotesis. Semua peneliti diharapkan menentukan jawaban sementara, yang akan diuji
berdasarkan data yang diperoleh. Hipotesis harus ada karena jawaban
penelitian juga harus ada, dan butir-butirnya sudah disebut dalam problematika maupun tujuan penelitian.
Pendapat kedua mengatakan, hipotesis hanya dibuat jika yang dipermasalahkan menunjukkan hubungan antara dua variabel atau lebih.
Jawaban untuk satu variabel yang sifatnya deskriptif, tidak perlu dihipotesiskan. Penelitian eksploratif yang jawabannya masih dicari dan sukar diduga, tentu sukar ditebak apa saja, atau bahkan tidk mungkin
dihipotesiskan.
Berdasarkan pendapat kedua ini maka mungkin sekali di dalam sebuah penelitian, banyaknya hipotesis tidak sama dengan banyaknya problematika
dan tujuan penelitian. Mungkin problematika unsur 1 dan 2 yang sifatnya
deskriptif tidak diikuti dengan hipotesis, tetapi problematika nomor 3 dihipotesiskan.
Comments
Post a Comment