Sistem ekonomi Islam



Sistem ekonomi Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga sektor utama, yaitu
sektor publik, swasta dan kesejahteraan sosial yang masing-masing memiliki fungsi,
institusi dan landasan syariahnya. Sektor-sektor ini terdapat dalam berbagai aktifitas
ekonomi seperti pada praktik aktifitas di pasar modal yang merupakan salah satu
kegiatan ekonomi yang berkaitan langsung dengan ketiga sektor tersebut.1
Islam sangat menekankan bahwa kegiatan ekonomi manusia merupakan salah
satu perwujudan dari pertanggungjawaban manusia sebagai khalifah di bumi agar
keseimbangan dalam kehidupan dapat terus terjaga. Dalam konteks ajaran Islam,
ekonomi Islam atau yang juga dikenal dengan ekonomi Syariah merupakan nilai-nilai
sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan ajaran Islam, sebagaimana Muhammad
bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan2: “Ekonomi Islam adalah kumpulan prinsipprinsip
umum tentang ekonomi yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan
pondasi ekonomi yang dibangun diatas dasar pokok-pokok tersebut dengan
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu”.
1 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), hlm. 7.
2 Abdullah Abd al-Husain al-tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, Terjemahan,
(Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 14.


Pengertian ekonomi Islam dari perspektif hukum sangat jarang ditemukan, hal
tersebut kemungkinan dipengaruhi karena pengembangan kajian ekonomi Islam
awalnya bukan lahir dari bidang hukum tetapi melalui kajian-kajian ekonomi
meskipun sama-sama sebagai bagian dari muamalah.
Secara sosiologis, hukum merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya suatu
masyarakat manusia. Oleh karena itu, suatu masyarakat tertentu memiliki hukumnya
sendiri sesuai dengan apa yang dicitrakan oleh kebudayaan suatu masyarakat tertentu
itu sendiri. Sifat, corak, dan watak suatu masyarakat sangat mempengaruhi bentuk
hukum sebagai pranata sosialnya. Itulah sebabnya berdasarkan pendekatan sejarah
dikenal dua visi hukum, yaitu (a) visi idealitas spiritual dan (b) visi materialistis
sosiologis. “Visi hukum idealitas spiritual pada intinya kelahiran hukum sebagai
pencitraan ide, seperti keadilan, rasio dan lain-lain yang merupakan gagasan absolut.
Sedangkan visi hukum yang materialis sosiologis pada intinya menjelaskan bahwa
hukum adalah pencitraan dari produk kenyataan kemasyarakatan”.3 Dari dua visi
hukum ini dapat diketahui bahwa hukum dipandang sebagai suatu produk rasio
manusia. Selama pernyataan ini dipegang teguh, maka tidak dapat dipungkiri bahwa
akan muncul keanekaragaman norma-norma hukum dalam suatu tata pergaulan lalu
lintas hukum di dunia.
Keanekaragaman norma-norma hukum dalam prakteknya menimbulkan
berbagai sistem hukum dalam masyarakat bangsa-bangsa juga memiliki keragaman
3 John Gilissent, Frits Gorle, Sejarah Hukum, terjemahan, (Bandung: Refika Aditama, 2005),
hlm. 14. Dalam filsafat hukum hal ini dikenal dengan istilah aliran pemikiran idealisme dan aliran
pemikiran realisme.

akar dan sistem hukum satu sama lain. Menurut Eric L.Richard, pakar hukum global
business dari Indiana University, menjelaskan sistem hukum yang utama di dunia
adalah:
1. Civil law. Sistem hukum ini berakar dari hukum Romawi (Roman Law) yang
dipraktikkan oleh Negara-Negara Eropa Kontinental termasuk bekas jajahannya.
2. Common Law. Sistem hukum common law ini dipraktikkan di Negara Anglo
Saxon, seperti Inggris dan Amerika.
3. Islamic law, hukum yang berdasarkan Syariah Islam yang bersumber dari al Quran
dan hadist.
4. Socialist law, sistem hukum yang dipraktikkan di Negara-Negara sosialis.
5. Sub-sahara Africa, sistem hukum yang dipraktikkan di Negara-Negara Afrika yang
berada di sebelah selatan gurun Sahara.
6. Far East, sistem hukum ini merupakan sistem hukum yang kompleks yang
merupakan perpaduan antara sistem civil law, common law dan hukum Islam
sebagai basis fundamental masyarakat.4
Dalam praktik masing-masing sistem hukum ini saling bersentuhan, hal ini
terjadi karena pada abad millenium sekarang ini, masing-masing bangsa di dunia ini
tidak lagi dapat mengisolasikan diri dari bangsa-bangsa lainnya dan akan melakukan
interaksi satu sama lainnya. Fakta ini mengharuskan semua ahli hukum, baik praktisi
maupun kalangan akademis dituntut pemahamannya tentang konsep-konsep hukum.
Dari kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa saling bersentuhan antara
sistem hukum melahirkan benturan konsep hukum dan penyelesian masalah hukum
yang sesuai dengan kebutuhan pergaulan masyarakat Internasional maupun dalam
pergaulan secara nasional dari suatu negara bila dilihat dari aspek norma hukumnya.
Pada sisi lain, bila dilihat dari nilai yang terkandung dalam suatu norma hukum atau
4 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), hlm. 19-20.

berkaitan dengan nilai dari suatu norma hukum, masyarakat membutuhkan suatu
hukum yang mewakili kepentingan nilai-nilai yang dianutnya.
Secara praktis, kebutuhan akan suatu sistem hukum tertentu yang dinilai
mampu memberikan hal yang terbaik bagi kebutuhan akan aturan hukum yang
mengatur hubungan individu dengan individu dan hubungan antara individu dengan
publik menyebabkan terjadinya pemberlakukan sistem hukum yang dikenal dalam
masyarakat bangsa-bangsa. Sebagaimana terlihat dalam praktik, bahwa hukum
ekonomi yang diatur dalam suatu sistem hukum civil law atau common law atau
sistem sosialis mengalami degradasi penilaian yang dianggap sudah tidak lagi mampu
memberi kegunaan yang maksimal dan menguntungkan bagi pihak penggunanya.
Sebagaimana terlihat, sekarang ini sudah familiarnya sistem hukum Islam dibelahan
dunia dan menjadi salah satu alternatif pengaturan tentang hukum ekonomi.
Aturan hukum tentang Pasar Modal di Indonesia pada awalnya diatur di
dalam Undang-undang Darurat Bursa Nomor 13 Tahun 1951 kemudian ditetapkan
dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Undangundang
tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar
Modal (untuk selanjutnya disebut UUPM) karena dinilai sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan pasar modal Indonesia di mana pasar modal
Indonesia yang tidak lagi bersifat tertutup, kepemilikannya tidak hanya dapat dimiliki
oleh warga negara Indonesia tetapi juga dapat dimiliki oleh warga negara asing.

UUPM merupakan landasan yang kukuh dan kepastian hukum bagi semua
pihak yang terlibat dalam melakukan kegiatan di bidang pasar modal Indonesia.
Namun ketentuan UUPM ini haruslah juga mengikuti perkembangan kegiatan pasar
modal yang berlaku di dunia internasional.
Kebutuhan dan respon terhadap perkembangan pasar modal yang ditandai
adanya kecenderungan terintegrasinya pasar modal di dunia mengharuskan
Indonesia untuk menyesuaikan diri serta harus merevisi dan membuat
peraturan perundang-undangan yang sesuai dalam merespons perkembangan
global dan dinamika yang terjadi untuk berusaha memajukan pasar modal
Indonesia agar sesuai dengan perkembangan ekonomi dunia.5
Sebagaimana Bismar Nasution juga mengatakan:
Globalisasi ekonomi dewasa ini juga menyebabkan terjadinya globalisasi
hukum melalui usaha-usaha standarisasi hukum pasar modal. Hal ini dapat
dilihat dengan adanya General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang
mencantumkan beberapa tuntutan yang harus dipenuhi oleh negara-negara
anggota berkaitan dengan penanaman modal, hak milik intelektual dan jasa,
sehingga globalisasi hukum terjadi melalui kontrak-kontrak bisnis
internasional sebagai konsekuensi dengan hadirnya pengusaha-pengusaha
negara maju membawa transaksi-transaksi baru ke negara-negara berkembang
yang menerima model kontrak bisnis Internasional. Persamaan ketentuanketentuan
hukum berbagai negara juga bisa terjadi dikarenakan negara
mengikuti model negara lain berkaitan dengan institusi-institusi hukum baru
untuk mendapatkan akumulasi modal. Misalnya peraturan pasar modal dari
negara civil law maupun common law berisikan substansi yang serupa atau
tidak banyak berbeda antara satu dengan yang lain.6
Oleh sebab itu, apabila dicermati mengenai aturan hukum yang termuat di
dalam UUPM tersebut maka dapat diketahui ketentuan yang terdapat di dalam
UUPM sebenarnya menganut visi hukum yang materialistis sosiologis. Hal ini terjadi
5 Abdul Manan, Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 9.
6 Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001),

karena pembentukan UUPM tersebut dibuat dengan berlatar-belakang atas pemikiran
sekuler atau keduniawian yang memisahkannya dengan dunia spiritual atau
keyakinan terhadap kepercayaan agama sebagaimana yang terjadi pada hukum yang
menganut sistem civil law maupun sistem common law.
Bagi bangsa Indonesia, berdasakan pandangan hidup yang dianutnya, yakni
Pancasila, visi hukum tidaklah semata-mata didasarkan pada visi materalistis
sosiologis tetapi juga mengandung visi idealistis spiritual sebagaimana dapat
diketahui dari isi sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di Indonesia sendiri, tuntutan akan visi hukum yang bersifat idealitas spiritual
sudah menjadi kebutuhan praktik, khususnya bagi penduduk yang beragama Islam.
Kebutuhan akan hukum yang bersifat idealitas spiritual tersebut sudah terlihat sejak
awal dibentuknya negara Indonesia khususnya pada saat menyusun Undang-Undang
Dasar 1945 sebagaimana terlihat di dalam Piagam Jakarta.
Secara historis, persentuhan antara sistem hukum telah terjadi di Indonesia
sejak jaman penjajahan Belanda. Hal ini ditandai dengan adanya ketentuan hukum
yang diatur di dalam Indische Staatregeling (IS) sebagaimana terlihat dari ketentuan
Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS yang mengatur tentang penggolongan hukum yang
didasarkan pada penggolongan penduduk pada waktu itu. Jadi fakta dibutuhkannya
pluralisme hukum sudah terlihat sejak jaman penjajahan dan hal ini menjadi aktual
kembali, khususnya dalam lapangan hukum perdata dan atau hukum bisnis sekarang
ini.

Tuntutan terhadap visi hukum yang idealitas spiritual, di Indonesia sistem
hukum Islam yang mengatur hubungan keperdataan dan dalam dunia bisnis sudah
menjadi tuntutan. Hal ini terlihat dilahirkannya undang-undang bidang keuangan
yang menganut sistem hukum Islam sebagaimana dapat dilihat diundangkannya
Undang-undang Perbankan Syariah. Selain itu, dapat juga dilihat dalam praktik
kebutuhan masyarakat akan sistem Syariah dalam lembaga keuangan lainnya seperti
dalam praktik kegiatan di Pasar Modal.
Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan berdasarkan visi idealitas
spiritual juga terlihat dalam praktik pasar modal.
Kalangan pasar modal menyadari potensi penghimpunan dana umat muslim.
Dalam rangka itu, BAPEPAM meluncurkan pasar modal Syariah pada tanggal
14-15 Maret 2003 sekaligus melakukan Nota Kesepahaman (Memorendum of
Understanding) dengan Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman dengan PT Bursa Efek
Jakarta bekerjasama dengan PT. Danareksa Investment Management
membentuk Jakarta Islamic Index. Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk
digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja investasi
pada saham dengan basis Syariah. Melalui index diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam
ekuitas secara Syariah. Tercatat 30 jenis saham yang sudah diperdagangkan
pada Jakarta Islamic Index.7
Bagi negara Indonesia, dibutuhkannya hukum pasar modal Syariah
memberikan bukti, bahwa visi hukum yang tertuang di dalam undang-undang di
Indonesia tidak lagi didasarkan pada visi hukum materialis sosiologis semata-mata,
melainkan juga ada kebutuhan visi hukum yang idealitas spiritual. Jadi interaksi dan
saling pengaruh mempengaruhi berbagai sistem hukum tidak saja terjadi dalam
7 M Irsan Nasaruddin, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.

interaksi antara bangsa-bangsa tetapi juga dapat terjadi dalam suatu negara nasional
tertentu yang berdaulat. Salah satu contoh tentang hukum yang mengandung visi
idealitas spiritual adalah Hukum Islam. Ada perbedaan antara hakikat dan etos
Hukum Islam dengan Hukum Barat sebagaimana diungkapkan oleh Anderson :
Satu hal yang tidak dapat diragukan lagi adalah bahwa perbedaan pertama
yang mendasar dan paling jelas di antara perbedaan-perbedaan lainnya,
perbedaan yang tampak paling mencolok dalam merancang pembahasan
tersebut adalah bahwa hukum Barat, sebagaimana diketahui bersama, pada
dasarnya bersifat sekuler sedangkan hukum Islam pada dasarnya bersifat
keagamaan. Hal ini merupakan perbedaan fundamental.8
Lebih lanjut Anderson mengatakan:
Hukum Islam jauh lebih luas cakupannya dibandingkan dengan hukum Barat.
Menurut pemikiran Barat, hukum sebagaimana dipahami oleh para ahli
hukum sebagai hukum kenyataan, atau setidak-tidaknya dapat dinyatakan,
berlaku oleh badan-badan peradilan. Sebaliknya, hukum Islam memasukkan
seluruh perbuatan manusia ke dalam cakupannya.9
Hal senada juga diungkapkan Bassiouni yang menulis : “Islam merupakan
pandangan hidup juga bentuk pemerintahan, struktur sosial, norma yang mengatur
hubungan inpersonal. Islam merupakan suatu ajaran yang menyeluruh dalam
mengatur aspek kehidupan”.10
Sesuai dengan pendapat di atas, maka dalam ajaran Islam bahwa kegiatan
berinvestasi dapat dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi yang sekaligus kegiatan
tersebut termasuk kegiatan muamalah yaitu suatu kegiatan yang mengatur hubungan
antar manusia. Sementara itu berdasarkan kaidah Fikih, bahwa hukum asal dari
8 J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern. Terjemahan, Machnun Husein, (Surabaya:
Amarpress, 1991), hlm.2.
9 Ibid, hlm. 4
10 Ade Maman Suherman, Op.cit, hlm. 127.

kegiatan muamalah itu adalah mubah (boleh) yaitu semua kegiatan dalam pola
hubungan antar manusia adalah mubah (boleh) kecuali yang jelas ada larangannya
(haram). Ini berarti ketika suatu kegiatan muamalah yang kegiatan tersebut baru
muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam ajaran Islam maka kegiatan tersebut
dianggap dapat diterima kecuali terdapat implikasi dari Al Qur’an dan Hadist yang
melarangnya secara implisit maupun eksplisit.11
Dalam pengertian yang kontekstual dewasa ini, bahwa seluruh Muslim harus
memenuhi kebutuhan ekonomi melalui perdagangan, industri, pertanian, dan berbagai
bentuk wiraswasta secara bebas. “Di samping anjuran untuk mencari rejeki, Islam
sangat menekankan (mewajibkan) aspek kelalaiannya, baik dari sisi perolehan
maupun pendayagunaannya (pengolahan dan pembelanjaan)”.12 Sementara itu
terdapat sejumlah teori-teori ekonomi dalam Al-Qur’an yang semua prinsip dasar
moral dan etika harus berlandaskan pada-Nya.
Dalam beberapa literatur Islam klasik memang tidak ditemukan adanya
terminologi investasi maupun pasar modal, akan tetapi sebagai suatu kegiatan
ekonomi, kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan jual beli (al Bay).
Oleh karena itu untuk mengetahui apakah kegiatan investasi di pasar modal
11 Bapepam-LK, Studi Tentang Investasi Syariah Di Pasar Modal Indonesia,
http://bapepam.go.id/syariah/publikasi/riset/index.html, diakses tanggal 9 Maret 2011, pukul 13.27
WIB.
12 Ade Maman Suherman, Op.cit.

merupakan sesuatu yang dibolehkan atau tidak menurut ajaran Islam, perlu diketahui
hal-hal yang dilarang/diharamkan oleh ajaran Islam dalam hubungan jual beli.13
Secara prinsip terdapat perbedaan fundamental kegiatan perekonomian pasar
modal konvensional dengan pasar modal Syariah. “Praktek kegiatan ekonomi
konvensional, khususnya dalam kegiatan pasar modal yang mengandung unsur
spekulasi sebagai salah satu komponennya sepertinya masih menjadi hambatan
psikologis bagi umat Islam untuk turut aktif dalam kegiatan investasi terutama di
bidang pasar modal”.14
Dalam implementasi prinsip Syariah pada praktiknya ditemukan perbedaan
pasar modal Syariah dengan pasar modal konvensional. Pasar modal Syariah tidak
mengenal kegiatan perdagangan semacam short selling, yaitu jual atau beli dalam
waktu yang amat singkat untuk mendapatkan keuntungan antara selisih jual dan beli.
Pemegang saham Syariah merupakan pemegang saham untuk jangka relatif panjang,
pola kepemilikan saham demikian tentunya membawa dampak positif. Perusahaan
tentunya akan mendapatkan pemegang saham yang jelas lebih menaruh perhatian dan
mempunyai rasa memiliki, ini akan menjadi kontrol yang efektif. Karakteristik
pemilikan saham Syariah yang hanya mengutamakan pencapaian keuntungan yang
akan dibagi atau kerugian yang akan ditanggung bersama (profit-loss sharing), tidak
13 Bapepam-LK, Studi Tentang Investasi Syariah Di Pasar Modal Indonesia, Op.cit.
14 Muhammad Ismail Yusanto, Muhammad Kareber Widjajakesuma, Menggagas Bisnis
Islami,(Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm.17.

akan menciptakan fluktuasi kegiatan perdagangan yang tajam dan bersifat
spekulasi.15
Perbedaan mendasar antara pasar modal konvensional dengan pasar modal
Syariah dapat dilihat pada instrumen dan mekanisme transaksinya, sedangkan
perbedaan nilai indeks saham Syariah dengan nilai indeks saham
konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus memenuhi
prinsip-prinsip dasar Syariah. Secara umum konsep pasar modal Syariah
dengan pasar modal konvensional tidak jauh berbeda meskipun dalam konsep
pasar modal Syariah disebutkan bahwa saham yang diperdagangkan harus
berasal dari perusahaan yang bergerak dalam sektor yang memenuhi kriteria
Syariah dan terbebas dari unsur ribawi, serta transaksi saham dilakukan
dengan menghindarkan berbagai praktik spekulasi.16
Sebagaimana telah disebutkan di atas, dan merujuk Pasal 1 angka 4 UUPM
dan Pasal 1 angka 13 UUPM aktivitas di Pasar Modal melalui perangkatnya Bursa
Efek adalah tempat bertemunya antara permintaan dan penawaran atas surat berharga
yang dilakukan melalui transaksi. Transaksi adalah istilah yang berlaku dalam dunia
ekonomi, terhadap istilah itu disebut kontrak atau perjanjian dalam dunia hukum.
Dengan demikian untuk melakukan perdagangan atas instrumen pasar modal dalam
pandangan hukum dibutuhkan ketentuan hukum kontrak. Hukum kontrak adalah
hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan yang substansi hukumnya
membicarakan bagaimana harta kekayaan diperoleh dan dialihkan dari satu pihak
kepada pihak lain.
Konsepsi tentang hukum kontrak dipengaruhi oleh sistem hukum yang
mengaturnya. Dalam pasar modal dan kegiatan di Bursa Efek sebelum lahirnya pasar
15 Abdul Manan, Op.cit., hlm. 10.
16Wahana Investasi dan Alternatif Pembiayaan Perusahaan,
http://pasarmodal.blog.gunadarma.ac.id, diakses tanggal 31/3/2011, pukul 23.02 WIB.

modal Syariah, dipergunakan hukum kontrak konvensional yang didasarkan pada
hukum Barat. Namun dalam perkembangannya, kontrak-kontrak di dalam pasar
modal dipergunakan hukum kontrak berdasarkan sistem Hukum Islam, sebagaimana
yang diberlakukan pada Pasar Modal Syariah yang benar-benar mampu
menghilangkan unsur spekulasi yang menjadi tujuan utama dari Syariah dalam dunia
hubungan perdagangan.
Bangkitnya ekonomi Islam di Indonesia dewasa ini menjadi fenomena yang
menarik dan menggembirakan terutama bagi penduduk Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Praktek kegiatan ekonomi konvensional, khususnya dalam kegiatan
pasar modal yang mengandung unsur spekulasi sebagai salah satu komponennya
nampaknya masih menjadi hambatan psikologis bagi umat Islam untuk turut aktif
dalam kegiatan investasi terutama di bidang pasar modal, sekalipun berlabel Syariah.
Salah satu produk pasar modal adalah reksadana. Reksadana merupakan
Kontrak Investasi Kolektif yang dilakukan antara manajer investasi (pengelola
investasi) dengan investor. Reksadana merupakan sebuah unit investasi yang
dibentuk dengan tujuan tertentu. Mengacu pada Pasal 1 angka 27 UUPM “reksadana
adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal
untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi”.
Membeli reksadana tidak ubahnya menabung, bedanya surat tanda menabung
tidak dapat diperjualbelikan, sebaliknya reksadana bisa diperjualbelikan. Unit
penyertaan yang bisa dijual kembali kepada manajer investasi disebut reksadana

terbuka (open end). Kebalikannya adalah reksadana tertutup (close end), yakni
reksadana yang hanya bisa dijual kepada investor lain melalui pasar sekunder.
Sebagian besar reksadana yang ada sekarang ini berbentuk reksadana terbuka.
Dengan variasi produk investasi yang makin variatif ini menjadikan pasar
modal sebagai sarana dan wahana investasi dari hari ke hari kian lengkap.
Investor memiliki banyak pilihan produk yang bisa menjadi ajang
investasinya yang tentunya disesuaikan dengan tujuan investasinya. Begitu
juga bagi yang pihak membutuhkan modal (issuer), produk yang bisa dijual
kepada investor bisa lebih variatif. Di samping saham, issuer atau emiten bisa
menjual obligasi atau bisa juga kombinasi saham dengan obligasi atau obligasi
dengan opsi tertentu.17
Untuk melakukan kegiatan jual beli reksadana dapat dilakukan melalui pasar
modal Syariah dan pasar modal konvensional. Piranti hukum yang dipergunakan
untuk melakukan jual beli reksadana di Pasar Modal Syariah dipergunakan akad-akad
atau perjanjian yang didasarkan pada konsep hukum Islam.
Dalam perjalanannya perkembangan pasar modal Syariah di Indonesia telah
mengalami kemajuan, sebagai gambaran bahwa setidaknya terdapat beberapa
perkembangan dan kemajuan Pasar Modal Syariah yang patut dicatat hingga tahun
2004, diantaranya adalah telah diterbitkan 6 (enam) Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (Selanjutnya disebut DSN-MUI) yang berkaitan dengan
industri pasar modal. Adapun ke 6 (enam) fatwa dimaksud adalah:
1. No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam;
2. No.20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa
Dana Syariah;
17 Ibid.

3. No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;
4. No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
5. No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan
Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal;
6. No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
Fatwa-fatwa tersebut di atas mengatur prinsip-prinsip Syariah di bidang pasar
modal yang meliputi bahwa suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip
Syariah apabila telah memperoleh pernyataan kesesuaian Syariah secara tertulis dari
DSN-MUI. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
sertifikat/predikat Syariah dari DSN-MUI yaitu bahwa calon emiten terlebih dahulu
harus mempresentasikan terutama struktur bagi hasilnya dengan nasabah/investor,
struktur transaksinya, bentuk perjanjiannya seperti perjanjian perwali-amanatan dan
lain-lain.
Sebagai tindak lanjut dari Fatwa DSN-MUI tersebut, BAPEPAM-LK melalui
Keputusan Ketua BAPEPAM-LK Nomor Kep-131/BL/2006 tanggal 23 Nopember
2006 menerbitkan peraturan yang berisikan Peraturan No.IX.A.14 yang menegaskan
akad-akad yang digunakan dalam penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal dan
Keputusan Ketua BAPEPAM No.Kep 130/BL/2006 tanggal 23 Nopember 2006 yang
berisi Peraturan No. IX.IX.A.13 Penerbitan Efek Syariah.
Perkembangan Pasar Modal Syariah di Indonesia secara umum ditandai oleh
berbagai indikator diantaranya adalah semakin maraknya para pelaku pasar modal

Syariah yang mengeluarkan efek-efek Syariah selain saham-saham dalam Jakarta
Islamic Index (JII).
Perkembangan transaksi saham Syariah di Bursa Efek Jakarta (BEJ) bisa
digambarkan bahwa, berdasarkan lampiran Pengumuman BEJ Nomor.Peng
499/BEJDAG/ U/12-2004 tanggal 28 Desember 2004, bahwa daftar nama saham
tercatat yang masuk dalam perhitungan Jakarta Islamic Index (selanjutnya disebut
JII) untuk periode 3 Januari 2005 s.d Juni 2005 adalah sebagai berikut: Anggota JII
Periode Januari s.d. Juni 2005 adalah Astra Agro Lestari, Adhi Karya (persero),
Aneka Tambang (Persero), Bakrie & Brothers, Barito Pacific Timber, Bumi
Resources, Ciputra Developmen, Energi Mega Persada, Gajah Tunggal, International
Nickel Ind, Indofood Sukses Makmur, Indah Kiat Pulp & Paper, Indocement Tunggal
Prakasa, Indosat, Kawasan Industri Jababeka, Kalbe Farma, Limas Stokhomindo,
London Sumatera, Medco Energi International, Multipolar Perusahaan Gas Negara
(Persero), Tambang Batu Bara Bukit Asam, Semen Cibinong, Semen Gresik
(Persero), Timah, Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, Telekomunikasi Indonesia, Tempo
Scan Pacific, United Tractors, Unilever Indonesia.18
Adapun kinerja saham-saham Syariah yang terdaftar dalam Jakarta Islamic
Index (JII) dimaksud juga mengalami perkembangan yang cukup baik, hal ini terlihat:
Dari kenaikan index JII sebesar 37,90% dari 118,952 pada akhir tahun 2003
menjadi 164,029 pada penutupan akhir tahun 2004. Begitu pula nilai
kapitalisasi saham-saham Syariah yang terdaftar dalam JII juga meningkat
18 Ibid.

signifikan sebesar 48,42% yaitu dari Rp.177,78 Triliun pada akhir Desember
2003 menjadi Rp.263,86 Triliun pada penutupan akhir Desember 2004.19
Salah satu indikasi pertumbuhan dan perkembangan obligasi Syariah pada
akhir-akhir ini dapat dilihat dari maraknya penawaran umum perdana obligasi
Syariah dengan akad Ijarah.
Sebagai gambaran bahwa sampai dengan akhir tahun 2003 hanya terdapat 6
(enam) emiten yang menawarkan obligasi Syariah di pasar modal Indonesia
dengan total nilai emisi sebesar Rp 740 Milyar, sedangkan pada tahun 2004
ada penambahan sebanyak 7 (tujuh) emiten baru yang telah mendapatkan
pernyataan efektif dari Bapepam. Dengan demikian, sampai dengan akhir
tahun 2004 secara kumulatif terdapat 13 (tiga belas) emiten yang menawarkan
obligasi Syariah atau meningkat sebesar 116,67% jika dibandingkan dengan
tahun 2003 yang hanya ada 6 (enam) emiten obligasi.20
Perkembangan selanjutnya adalah ditandai dengan meningkatnya nilai emisi
obligasi Syariah di pasar modal Indonesia.
Nilai emisi obligasi Syariah pada akhir tahun 2003 baru mencapai sebesar Rp
740 Milyar sedangkan nilai emisi obligasi yang sama pada akhir tahun 2004
mencapai Rp 1.424 Triliun yang berarti ada peningkatan sebesar 92,43%,
namun jika dibandingkan dengan total nilai emisi obligasi di pasar modal
Indonesia di tahun 2004 secara keseluruhan yaitu sebesar Rp. 83.005,349
Triliun, maka presentasenya masih terlalu kecil yaitu baru mencapai 1,72%.21
Di tengah maraknya instrumen investasi yang berlabel Syariah, perlu
dicermati pula bahwa minimnya aturan-aturan hukum yang memayungi setiap
kegiatan dan atau transaksi Syariah di pasar modal juga dirasakan sebagai ketidakjelasan
aspek perlindungan terhadap para investor atau nasabah pasar modal Syariah.
19 Ibid.
20 Ibid.
21 Ibid.

Berdasarkan fakta tersebut tidak dapat dipungkiri secara praktis maupun
teoritis peranan perbandingan hukum menjadi amat penting untuk mengamati dan
menganalisis masing-masing konsep hukum yang ada khususnya tentang kegiatan di
pasar modal. Seperti apa yang diungkapkan oleh Koopmans, seorang mantan hakim
Mahkamah Peradilan Masyarakat Eropa yang mengatakan:
Abad ke 21 akan menjadi sebuah era bagi metode-metode komparatif. Karena
kita sama-sama menghadapi banyak permasalahan masyarakat yang sulit, dan
karena kita hidup bersama semakin dekat di planet ini, kita tampaknya
memang harus melihat kepada pendekatan-pendakatan dan pandangan satu
sama lain. Dengan demikian, kita dapat menemukan berbagai hal menarik,
tetapi kita juga dapat menemukan cara untuk mengatasi berbagai tantangan
hukum yang amat besar yang tampak sudah tersedia bagi kita.22
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dalam penelitian ini akan dilakukan
penelitian berkaitan dengan konsep hukum Islam dalam kegiatan di Pasar Modal
khususnya tentang perdagangan reksadana yang menggunakan hukum Islam sebagai
piranti hukum dalam melakukan kegiatan di Pasar Modal Syariah.

Comments

Popular posts from this blog

BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN DALAM ISLAM

KAUM NABI LUTH : Dan Kota Yang Dijungkirbalikkan

Pesona Nasehat Lukman Al-Hakim pada anaknya